Hari raya Idul Fitri hampir tiba, ummat Islam di seluruh dunia menyambutnya dengan suka cita, mereka mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut hari kemenanang yang telah dinantikan, bukan kemenangan secara fisik, karena sekarang bukan lagi zamannya perang, kalaupun ada yang dalam keadaan perang (sangat disayangkan) perang tersebut tidak begitu saja berhenti karena adanya hari raya ini, namun lebih karena keberhasilan melewati ujian selama satu bulan penuh.
Salah satu hal yang dipersiapkan untuk menyambut hari raya adalah menyiapkan Zakat. Terutama Zakat Fitrah karena zakat ini hanya bisa diberikan pada waktu hari raya Idul Fitri. "Terutama" berarti ada zakat yang lain?
Benar, memang zakat yang diwajibkan pada Hari raya Idul Fitri adalah zakat Fitrah, yaitu kewajiban untuk memberikan makanan pokok bagi mereka yang mempunyai kelebihan makanan pada Idul Fitri kepada delapan golongan yang membutuhkan. Namun ternyata di Indonesia (khususnya di Jawa), seringkali pada dijumpai ternyata zakat yang dibagikan bukan hanya zakat Fitrah tetapi juga zakat Mal (zakat harta benda), dan zakat Tijaroh (zakat hasil usaha).
Secara syariat dua jenis zakat tersebut seharusnya dikeluarkan bila sudah mencapai Nishob (hitungan tertentu) dan juga mencapai Haul (satu tahun), namun ternyata prakteknya yang ada di Jawa berbeda, biasanya orang Indonesia secara resmi membagikan dua jenis zakat tersebut pada hari raya Idul Fitri entah itu sudah mencapai satu tahun ataupun belum. Memang secara letterlijk syariat ini salah, namun bisa dibilang ini adalah solusi yang bagus, karena saat ini orang jarang sekali mengetahui kapan mereka harus mulai penghitungan satu tahun itu. Sebagai gantinya pembulatan satu tahun pada hari Raya Idul Fitri adalah solusinya.
Untuk ibadah yang satu ini juga banyak yang mempersiapkan, yang merasa berzakat bersiap menghitung berapa yang harta yang harus dikeluarkan untuk zakat, dan yang menerima zakat juga sudah bersiap dan berharap mereka mendapat zakat yang lumayan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun ada satu masalah lagi, seringkali Muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) tidak tahu kepada siapa mereka akan memberikan zakatnya, siapa saja delapan golongan yang harus diberi zakat, dan bagaimana pembagiannya.
Solusi kembali muncul, Islam mengenal kepanitiaan penyalur zakat yang disebut Amil zakat, melalui amil zakat ini muzakki tidak perlu bingung lagi pendistribusian zakat, semua sudah ditangani oleh amil. Dan juga ternyata amil adalah salah satu golongan delapan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat), sehingga mereka berhak mengambil sebagian dari zakat yang terkumpul untuk diri mereke sendiri atas nama Amil.
Menggembirakan, ternyata untuk penanggulangan pendistribusian zakat, banyak sekali yayasan Amil zakat berdiri, tujuannya tentu saja (atatu semoga saja) untuk mendistribusikan zakat secara merata. Banyak sekali masjid-masjid dan organisasi Islam mendirikan badan Amil zakat untuk menyalurkan zakat tersebut, bahkan beberapa diantaranya menyediakan jasa antar jemput zakat, sehingga muzakki tidak perlu repot datang ke kesekretariatan untuk memberikan zakat, cukup menelpon panitia, kemudian salah satu panitia akan datang menjemput zakat tersebut dan mendistribusikannya.
Sayang sekali ada miskonsepsi di sini, dalam Fiqh (madzhab Syafi'i yang saya percayai) Amil yang dimaksudkan dalam Islam bukan hanya sekedar panitia penyalur zakat. Definisi Amil dalam Fiqh Sayfi'iyyah (dan hampir semua madzhab) adalah panitia penyalur zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Jadi panitia penyalur zakat swasta atau yang dibentuk oleh masjid-masjid dan organisasi lainnya tanpa SK dari pemerintah, mereka hanya sebatas penyalur zakat bukan Amil zakat seperti yang dikehendaki dalam Fiqh. Konsekuensinya mereka tidak berhak mendapatkan zakat atas nama Amil.
That's the problem. Banyak kepanitiaan zakat yang dibentuk oleh organisasi swasta kemudian menamakan dirinya sebagai amil lembaga penyalur zakat, OK, bukan masalah toh itu hanya sebatas nama, repotnya setelah melegitimasi dirinya sendiri sebagai amil, kemudian mereka juga merasa berhak mengambil sebagian zakat yang dikumpulkan atas nama Amil, nah ini dia yang mulai tidak benar.
Saya teringat dulu waktu duduk di bangku Madrasah Aliyyah Qudsiyyah, temen-temen PPQ (semacam OSIS) juga mendirikan lembaga Amil penyalur zakat, sejak awal para Asatidz selalu mewanti-wanti agar tidak terjadi miskonsepsi dan melarang mengambil sedikitpun zakat yang telah dikumpulkan, bahkan untuk biaya operasionalpun tidak diperbolehkan, sebagai gantinya untuk biaya operasional, panitia mengambil dana dari Madrasah, sedangkan untuk makan-makan bersama panitia, terpaksa teman-teman panitia "urunan" dari kantong mereka masing-masing.
Salah satu wejangan dari Pak KH. Nadjib Hasan yang masih saya ingat "Kalau berani mendirikan lembaga amil zakat (non pemerintah) harus siap dan ikhlas tombok merogoh koceknya untuk pembiayaan lembaga tersebut, bukan malah mengambil biaya operasional dari zakat yang terkumpul. Jangan sekali-kali berpikir untuk mengambil keuntungan dari Amil zakat, barang sepeser pun" (aw kama Qola).
Lalu apa keuntungan mendirikan lembaga amil zakat non pemerintah kalau kita tidak boleh mengambil sedikitpun zakat yang telah kita kumpulkan?
Fa ajruhu 'inda Allah....
Salah satu hal yang dipersiapkan untuk menyambut hari raya adalah menyiapkan Zakat. Terutama Zakat Fitrah karena zakat ini hanya bisa diberikan pada waktu hari raya Idul Fitri. "Terutama" berarti ada zakat yang lain?
Benar, memang zakat yang diwajibkan pada Hari raya Idul Fitri adalah zakat Fitrah, yaitu kewajiban untuk memberikan makanan pokok bagi mereka yang mempunyai kelebihan makanan pada Idul Fitri kepada delapan golongan yang membutuhkan. Namun ternyata di Indonesia (khususnya di Jawa), seringkali pada dijumpai ternyata zakat yang dibagikan bukan hanya zakat Fitrah tetapi juga zakat Mal (zakat harta benda), dan zakat Tijaroh (zakat hasil usaha).
Secara syariat dua jenis zakat tersebut seharusnya dikeluarkan bila sudah mencapai Nishob (hitungan tertentu) dan juga mencapai Haul (satu tahun), namun ternyata prakteknya yang ada di Jawa berbeda, biasanya orang Indonesia secara resmi membagikan dua jenis zakat tersebut pada hari raya Idul Fitri entah itu sudah mencapai satu tahun ataupun belum. Memang secara letterlijk syariat ini salah, namun bisa dibilang ini adalah solusi yang bagus, karena saat ini orang jarang sekali mengetahui kapan mereka harus mulai penghitungan satu tahun itu. Sebagai gantinya pembulatan satu tahun pada hari Raya Idul Fitri adalah solusinya.
Untuk ibadah yang satu ini juga banyak yang mempersiapkan, yang merasa berzakat bersiap menghitung berapa yang harta yang harus dikeluarkan untuk zakat, dan yang menerima zakat juga sudah bersiap dan berharap mereka mendapat zakat yang lumayan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun ada satu masalah lagi, seringkali Muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) tidak tahu kepada siapa mereka akan memberikan zakatnya, siapa saja delapan golongan yang harus diberi zakat, dan bagaimana pembagiannya.
Solusi kembali muncul, Islam mengenal kepanitiaan penyalur zakat yang disebut Amil zakat, melalui amil zakat ini muzakki tidak perlu bingung lagi pendistribusian zakat, semua sudah ditangani oleh amil. Dan juga ternyata amil adalah salah satu golongan delapan mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat), sehingga mereka berhak mengambil sebagian dari zakat yang terkumpul untuk diri mereke sendiri atas nama Amil.
Menggembirakan, ternyata untuk penanggulangan pendistribusian zakat, banyak sekali yayasan Amil zakat berdiri, tujuannya tentu saja (atatu semoga saja) untuk mendistribusikan zakat secara merata. Banyak sekali masjid-masjid dan organisasi Islam mendirikan badan Amil zakat untuk menyalurkan zakat tersebut, bahkan beberapa diantaranya menyediakan jasa antar jemput zakat, sehingga muzakki tidak perlu repot datang ke kesekretariatan untuk memberikan zakat, cukup menelpon panitia, kemudian salah satu panitia akan datang menjemput zakat tersebut dan mendistribusikannya.
Sayang sekali ada miskonsepsi di sini, dalam Fiqh (madzhab Syafi'i yang saya percayai) Amil yang dimaksudkan dalam Islam bukan hanya sekedar panitia penyalur zakat. Definisi Amil dalam Fiqh Sayfi'iyyah (dan hampir semua madzhab) adalah panitia penyalur zakat yang dibentuk oleh pemerintah. Jadi panitia penyalur zakat swasta atau yang dibentuk oleh masjid-masjid dan organisasi lainnya tanpa SK dari pemerintah, mereka hanya sebatas penyalur zakat bukan Amil zakat seperti yang dikehendaki dalam Fiqh. Konsekuensinya mereka tidak berhak mendapatkan zakat atas nama Amil.
That's the problem. Banyak kepanitiaan zakat yang dibentuk oleh organisasi swasta kemudian menamakan dirinya sebagai amil lembaga penyalur zakat, OK, bukan masalah toh itu hanya sebatas nama, repotnya setelah melegitimasi dirinya sendiri sebagai amil, kemudian mereka juga merasa berhak mengambil sebagian zakat yang dikumpulkan atas nama Amil, nah ini dia yang mulai tidak benar.
Saya teringat dulu waktu duduk di bangku Madrasah Aliyyah Qudsiyyah, temen-temen PPQ (semacam OSIS) juga mendirikan lembaga Amil penyalur zakat, sejak awal para Asatidz selalu mewanti-wanti agar tidak terjadi miskonsepsi dan melarang mengambil sedikitpun zakat yang telah dikumpulkan, bahkan untuk biaya operasionalpun tidak diperbolehkan, sebagai gantinya untuk biaya operasional, panitia mengambil dana dari Madrasah, sedangkan untuk makan-makan bersama panitia, terpaksa teman-teman panitia "urunan" dari kantong mereka masing-masing.
Salah satu wejangan dari Pak KH. Nadjib Hasan yang masih saya ingat "Kalau berani mendirikan lembaga amil zakat (non pemerintah) harus siap dan ikhlas tombok merogoh koceknya untuk pembiayaan lembaga tersebut, bukan malah mengambil biaya operasional dari zakat yang terkumpul. Jangan sekali-kali berpikir untuk mengambil keuntungan dari Amil zakat, barang sepeser pun" (aw kama Qola).
Lalu apa keuntungan mendirikan lembaga amil zakat non pemerintah kalau kita tidak boleh mengambil sedikitpun zakat yang telah kita kumpulkan?
Fa ajruhu 'inda Allah....
Komentar