Sebuah perjuangan, tentunya selalu berawal
Dari titik nadi keprihatinan dan kesengsaraan.
Wajah belepotan oleh debu siang dan panas terik natahari yang pekatkan kulit ari
Kusam nan lusuh berjalan tanpa daya dan kuasa
Panas disiksa dingin terpaksa
Dalam arungan pengembaraan jiwa menuju titik jalan tanpa pangkal
Mata pun sempit perih tak kuasa melawan
Petromak matahari, hanya bekal kaki dan tangan mata ini
Tetap terjaga melihat panorama besi yang berlalu lalang
Dan bau anyir kemiskinan nan kumuh dan kumal dengan semprotan
Parfum polusi industri
Sekali lagi manusia itu berucap berjuang
Entah apa yang dijuangkan
Tembok licin tanpa tangga tetap berusaha ia naiki tanpa alat bantu
Tiada kuasa, ia memukulinya dengan tangan
Bahkan kepala pun disentakkannya
Bertubi-tubi
Anekdot takdir apalagi yang terjadi
Di depan mataku
Sayup-sayup mulai terdengar rintihan lirih bernada sendu
Lama terdengar teriakan histeris tiba-tiba muncul
Pekikkan gendang kalbu dan iris hatiku
Laknat siapa yang murka durja
Oh pejuang itu…..
Dengan busana merah yang menutupi seluruh tubuhnya
Menari-nari dengan gemulai
Entah tarian apa begitu lihainya bagai karet
Dan …
Suara itu hilang seiring berhentinya ia menari
Kudekati dan kutatap
Luka borok yang bernanah tampak menganga
Denga cacing perut yang kurus seperti juga kelaparan
Busana itu ternyata air suci perjuangan
Tulangnya remuk. Cuma matanya yang tetap
Berkaca seakan masih berharap
Pada citanya yang sakti nan maha tinggi
Tuhan…..
Kenapa engkau perlihatkan ia
Konyol ataukah gambaran seseorang
Sejak kapan dimensi waktu ini berderu kencang
Hingga ia rela memaku kepalanya pada tembok beton
Dan kenapa aku yang harus menyaksikan
Hak-Mu bukan untuk meyiksa
Kita manusia kerdil berusaha bijaksana
Untuk merengkuh kehormatan tata laksa manusia
Simpankan memori itu dalam benak pejuang baru
Sampai ketika sang sekala tertiup
Dan kita berombong menghadap-Mu
Sevana el_Farambie
Memori April, untuk karibku yang
menemani jalanku
Komentar