Sebenarnya perasaan bangga tidak mungkin aku tutupi, bisa hidup dalam beberapa situasi dan kondisi yang cukup kontras, dan yang lebih menyenangkan lagi aku bisa survive di semuanya, meskipun bukan dalam arti merajai atau dominan, yach paling nggak bisa survive-lah kan udah bagus. Ini arah pembicaraannya kemana ya???
Saat aku kecil, mungkin lebih enak diucapkan, saat aku belum beranjak besar, seperti biasanya, aku hidup diantara keluarga yang menyayangiku, bersekolah di sekolah rumhaku, begitu dekat malah karena memang letaknnya di depan rumahku persis. Just like the other children, bermain, belajar, berserikat dan berkumpul dengan temen-2, pokoknya hal-hal yang sewajarnya dilakukan anak kecil. Sepertinya tidak ada kenangan yang begitu besar pada masa ini, bahagia dan susah sama sekali ordinarily tidak ada yang istimewa, kecuali dari kecil aku merasa hidup dalam planning orang tuaku yang terlalu besar, dan anehnya pada saat itu, aku sama sekali tidak dapat memberikan penawaran yang lebih baik, bahkan memang sama sekali tidak memberikan penawaran. Istilah modernnya "suwargo nunut neroko katut".
Belum sampai selesai masa kecilku, seperti yang aku ceritakan, aku mengikuti planning orang tuaku untuk bersekolah di kota lain, suatu kota yang dulunya juga dirambah beliau-beliaunya dan dianggap telah sukses memberikan bekal yang cukup untuk menapak hidup. Jadilah aku anak perantauan premature yang tidak mempunyai keinginan yang jelas.
Jujur pada awal berpindah sekolah, aku merasa agak enggan, sangat merasa tidak nyaman dengan iklim baru yang sama sekali tidak pernah aku kenal, lingkungan yang biasanya hanya aku lihat lewat jendela kaca mobil tertutup. Cukup frustasi juga mendapatkan system pengajaran yang benar-benar baru.
Oh ya perlu aku jelaskan selama di Kudus aku tidak sekolah dalam sekolah konvensional dengan kurikulum yang biasa. Aku menuntut ilmu di sekolah yang biasanya disebut sebagai Madrasah karena mempunyai muatan agama yang cukup banyak. Sebutan madrasah (dalam literatur Indonesia) sepertinya juga kurang pas untuk menggambarkan sekolahku yang sangat unik ini, muatan kurikulum agamanya jauh lebih banyak daripada madrasah yang biasa ada, sebutan yang lebih cocok mungkin adalah semi pesantren. Karena hampir semua pelajaran yang diajarkan bercorak pesantren kecuali kurikulum nasional wajib, itupun dengan pemangkasan porsi yang tidak tanggung-tanggung.
Tidak nyaman, tentu saja karena baru saat itu aku mengetahui sistem sekolah yang seperti itu, dan karena aku pindahan dari sekolah lain, aku harus mengejar ketertinggalan kurikulum lokal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Bulan-bulan pertama rasanya aku ingin pindah dari sekolah itu, tapi karena semangat (atau mungkin paksaan) yang diberikan orang tua dan saudara-saudaraku, akhirnya aku tetap di sekolah tersebut sampai lulus 'Aliyyah (setingkat SMA). Toh tahun-tahun berikutnya aku sudah mulai enjoy dengan keadaan sekolah tersebut dan bisa menyesuaikan diri (kembali ke kata kuci "survive").
--intermezo-- Mungkin kalau tulisanku ini dibaca, temen-temen seperjuanganku dulu, mereka pasti akan tertawa, karena kenyataannya aku bukanlah se-istimewa itu di sekolahku dulu, masih banyak anak yang bernasib sama sepertiku, dan mereka tidak pernah menulis dalam blog seperti yang aku tuliskan sekarang. Biarlah, namanya juga cerita, kan harus urut terperinci menurut kronologinya, dan satu hal lagi, ini untuk menunjukkan my lovely school, is an unordinary school--//intermezo--
Cukup sudah selama di Kudus belajar pelajaran aneh Balaghoh, Arudl, I'lal, Falak, Ushul, Qiro'ah Sab'ah, Faroidl, dan sejenisnya. Saatnya berpindah tempat saat masa berlaku menuntut ilmu di Kudus telah berakhir, sebuah kecelakaan sejarah yang aku buat sendiri dan berlangsung sangat panjang, namun menyenangkan dan penuh kejutan. Pengalaman cukup, saat itu ya, namun hidup masih panjang aku harus cari bekal lagi.
Akhirnya babak baru dalam hidupku tiba, setalah menjadi cukup besar aku harus membuat pilihan sendiri untuk menentukan kemana aku melangkah selanjutnya, dengan semangat coba-coba dan kepercayaan diri yang terlampau besar, akhirnya aku masuk ke salah satu Universitas Swasta "termahal" di Semarang, UDINUS.
Shock, mungkin juga, perasaan lama itu akhirnya kembali pada saat pertama menapakkan kaki di dalam dunia yang penuh dengan perhitungan yang rumit. Selama di Kudus aku lebih banyak bergelut dengan analisa sosial dan cukup kental dengan unsur linguistik, saat pindah ke jurusan Teknik Informatika, yang aku hadapi adalah bahasa pemrograman yang sarat dengan unsur ilmu eksak, salah satu disiplin ilmu yang paling aku kesampingkan sewaktu di Kudus.
Setengah tidak percaya dengan tertatih aku harus membangun kembali mindset dan metode belajarku, bahkan untuk mata kuliah tertentu (terutama yang berhubungan dengan hitung-menghitung) aku harus membangun pondasi dari awal. Seorang yang lemah dalam perhitungan matematis masuk ke dalam dunia yang dipenuhi angka-angka matematis. Bunuh diri? Tidak juga, i must survive aku kembali teringat kata kunci itu.
Komentar