Melihat perkembangan sisi sosial ummat manusia (terutama warga negara Indonesia) akhir-akhir ini cukup meresahkan penulis, semakin lama penulis senakin tidak mendapati alasan lain manusia menjalankan aktifitasnya kecuali semuanya berujung pada uang. Bahkan beberapa hari yang lalu penulis mengikuti seminar teknologi di kampus, dan dengan sadar dan semangat yang masih full sang nara sumber berkata "tidak dapat dipungkiri saat ini tidak ada satupun kegiatan yang tidak berujung pada orientasi bisnis" (au kama qool)—saat itu adalah seminar tentang teknologi tidak mungkin saya kemudian bertanya tentang pernyataan intermeso tersebut.
Terlebih lagi hidup bersama teman satu kos yang mengambil jurusan ekonomi di salah satu perguruan tinggi swasta, hampir setiap hari selalu berceramah tentang bussiness oriented yang tidak mungkin diingkari, bahkan—menurut pandangannya—sekarang tidak ada satupun manusia yang tidak mengharapkan pamrih, dan semua kegiatan manusia harus diukur dengan efesiensi dan benefit. Dengan kata lain tidak ada satu ruang pun untuk idealisme sosial.
Pengen rasanya membantah semua itu, tapi penulis sendiri hampir tidak dapat mendapati fakta yang mengungkapkan sebaliknya, kalau zaman dahulu mungkin saja. Kebetulan satu dua tahun lalu penulis masih getol mendalami literatur islam klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Hampir semua kitab kuning yang penulis pelajari dikarang oleh ulama yang ikhlas untuk membagi ilmu, tidak ada satupun yang dibatasi hak cipta. Bahkan ulama-ulama tersebut selalu berusaha mempublikasikan kitab karangannya secara cuma-cuma, dan akan senang sekali kalau ada murid yang mau mengcopy atau bahkan menjiplak karangannya. Padahal saat itu belum ada GPL.
Menyebarluaskan ilmu pengetahuan adalah suatu kebanggaan bagi mereka, sangat jauh bertolak belakang dengan para pengajar atau penulis saat ini. Undang-undang HAKI (hak cipta intelektual) merupakan salah satu bukti betapa pelitnya ilmuwan sekarang untuk membagi ilmu. Mereka mau membagi ilmu hanya jika ada cost yang sesuai. Kualitas buku selalu berbanding lurus dengan bandrol harga yang kian melambung tinggi.
Tidak cukup menggunakan hukum formal, beberapa dari penulis itupun ada yang menggunakan klaim agama untuk menghindari pengcopyan secara ilegal dengan menuliskan "Haram hukumnya mengcopy tanpa seijin penulis". Salah? Tentu saja tidak, itu adalah sepenuhnya hak dari penulis buku, tapi tentu saja yang demikian membuktikan betapa generasi saat ini pelit tentang ilmu pengetahuan yang mereka miliki, bahkan berani menggunakan motif agama hanya untuk menarik keuntungan financial (saya tidak menulis keuntungan "duniawi", karena siapa yang bisa tahu hati orang).
Untunglah setelah beberapa lama berkenalan dengan makhluk yang bernama "Internet", kemasygulan penulis sedikit sirna (meskipun cuma sedikit). Teknologi internet yang selama ini selalu identik dengan futuristik dan jauh dari nilai sosial, justru di sanalah penulis menemukan nilai sosial yang sangat tinggi, gotong royong tanpa pamrih yang hampir hilang baru dapat penulis temukan di desa yang sangat terpencil dan komunitas yang sangat ramai, Internet.
Di dunia naya inilah saya menemukan penulis yang mau berbagi ilmunya secara cuma-cuma, ada yang mau membuat web (yang tentunya butuh modal) yang berisi resource yang sangat berharga untuk kepentingan umat manusia.
Proyek GPL (general public license), kita akan menemukan banyak sekali bertebaran di Internet. Forum-forum diskusi gratis, juga sudah hampir tidak dapat dihitung jumlahnya, semuanya dapat dimanfaatkan oleh orang yang online. Bahkan ada yang mau menanggung dosa hanya untuk membagi ilmu pengetahuan dengan membuat crack program atau merilis versi gratis ebook yang seharusnya berbayar—entah sebenarnya mereka merasa atau tidak kalau sebenarnya mereka telah berbuat dosa ;-).
Hanya ada satu kekurangan, sekali lagi resource yang bergitu besar telah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendapat keuntungan. Tidak berhasil mengatur lalu lintas kebebasan di Internet, mereka mencari cara lain, apalagi kalau tidak melambungkan biaya online internet (terutama di Indonesia), sekian lama perkembangan teknologi komunikasi tapi bandwith tetap saja sangat mahal, hampir tidak terjangkau oleh grass root—aneh ya ngapain akar rumput main internet ;-).
Terlalu idealis ya??? Memang itulah saya, disamping itu ngapain juga bercita-cita kok terlalu sederhana itu sih namanya terlalu pesimistis. Yang jelas tulisan ini adalah salah satu tulisan saya yang menyuarakan kata hati yang ingin belajar tetapi terbentur dengan urusan pendanaan. Probable? Why not?
Terlebih lagi hidup bersama teman satu kos yang mengambil jurusan ekonomi di salah satu perguruan tinggi swasta, hampir setiap hari selalu berceramah tentang bussiness oriented yang tidak mungkin diingkari, bahkan—menurut pandangannya—sekarang tidak ada satupun manusia yang tidak mengharapkan pamrih, dan semua kegiatan manusia harus diukur dengan efesiensi dan benefit. Dengan kata lain tidak ada satu ruang pun untuk idealisme sosial.
Pengen rasanya membantah semua itu, tapi penulis sendiri hampir tidak dapat mendapati fakta yang mengungkapkan sebaliknya, kalau zaman dahulu mungkin saja. Kebetulan satu dua tahun lalu penulis masih getol mendalami literatur islam klasik atau yang lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning. Hampir semua kitab kuning yang penulis pelajari dikarang oleh ulama yang ikhlas untuk membagi ilmu, tidak ada satupun yang dibatasi hak cipta. Bahkan ulama-ulama tersebut selalu berusaha mempublikasikan kitab karangannya secara cuma-cuma, dan akan senang sekali kalau ada murid yang mau mengcopy atau bahkan menjiplak karangannya. Padahal saat itu belum ada GPL.
Menyebarluaskan ilmu pengetahuan adalah suatu kebanggaan bagi mereka, sangat jauh bertolak belakang dengan para pengajar atau penulis saat ini. Undang-undang HAKI (hak cipta intelektual) merupakan salah satu bukti betapa pelitnya ilmuwan sekarang untuk membagi ilmu. Mereka mau membagi ilmu hanya jika ada cost yang sesuai. Kualitas buku selalu berbanding lurus dengan bandrol harga yang kian melambung tinggi.
Tidak cukup menggunakan hukum formal, beberapa dari penulis itupun ada yang menggunakan klaim agama untuk menghindari pengcopyan secara ilegal dengan menuliskan "Haram hukumnya mengcopy tanpa seijin penulis". Salah? Tentu saja tidak, itu adalah sepenuhnya hak dari penulis buku, tapi tentu saja yang demikian membuktikan betapa generasi saat ini pelit tentang ilmu pengetahuan yang mereka miliki, bahkan berani menggunakan motif agama hanya untuk menarik keuntungan financial (saya tidak menulis keuntungan "duniawi", karena siapa yang bisa tahu hati orang).
Untunglah setelah beberapa lama berkenalan dengan makhluk yang bernama "Internet", kemasygulan penulis sedikit sirna (meskipun cuma sedikit). Teknologi internet yang selama ini selalu identik dengan futuristik dan jauh dari nilai sosial, justru di sanalah penulis menemukan nilai sosial yang sangat tinggi, gotong royong tanpa pamrih yang hampir hilang baru dapat penulis temukan di desa yang sangat terpencil dan komunitas yang sangat ramai, Internet.
Di dunia naya inilah saya menemukan penulis yang mau berbagi ilmunya secara cuma-cuma, ada yang mau membuat web (yang tentunya butuh modal) yang berisi resource yang sangat berharga untuk kepentingan umat manusia.
Proyek GPL (general public license), kita akan menemukan banyak sekali bertebaran di Internet. Forum-forum diskusi gratis, juga sudah hampir tidak dapat dihitung jumlahnya, semuanya dapat dimanfaatkan oleh orang yang online. Bahkan ada yang mau menanggung dosa hanya untuk membagi ilmu pengetahuan dengan membuat crack program atau merilis versi gratis ebook yang seharusnya berbayar—entah sebenarnya mereka merasa atau tidak kalau sebenarnya mereka telah berbuat dosa ;-).
Hanya ada satu kekurangan, sekali lagi resource yang bergitu besar telah dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk mendapat keuntungan. Tidak berhasil mengatur lalu lintas kebebasan di Internet, mereka mencari cara lain, apalagi kalau tidak melambungkan biaya online internet (terutama di Indonesia), sekian lama perkembangan teknologi komunikasi tapi bandwith tetap saja sangat mahal, hampir tidak terjangkau oleh grass root—aneh ya ngapain akar rumput main internet ;-).
Terlalu idealis ya??? Memang itulah saya, disamping itu ngapain juga bercita-cita kok terlalu sederhana itu sih namanya terlalu pesimistis. Yang jelas tulisan ini adalah salah satu tulisan saya yang menyuarakan kata hati yang ingin belajar tetapi terbentur dengan urusan pendanaan. Probable? Why not?
Komentar